Selamat pagi Belanda! Senangnya bangun siang
Gw melirik jam dinding di kamar dan ternyata masih terlalu pagi untuk bangun; 06.00. Biasanya gw malas bangun jam segini. Tapi sehubungan gw orang Indonesia yang rajin bangun siang, maka dengan melirik jam tangan gw yang menunjukkan pukul 11.00 siang, hati gw menjadi lega. Hari ini adalah hari pemulihan tenaga, hari bermalas-malasan dan… tiba-tiba gw tersadar ‘Ini Belanda cuy! Rugi kalau hanya molor di rumah’. Hasrat mandi-pagi gw langsung muncul, gw segera bangun dari tempat tidur dan berusaha mencari sesuap roti untuk makan siang. Sesuai dengan kebanggan makanan orang Belanda. Yes, roti!
Menyusun rencana
Rencana hari ini adalah mencari kartu telepon supaya gw bisa dihubungi oleh orang sekampung dan supaya gw juga bisa menggunakan internet di HP untuk fesbukan. Sebenarnya yang lebih utama adalah eksistensi di fesbuk. Tahu sendiri kan ‘gimana rasanya dilihatin foto nya sama orang sekampung kalau gw sedang berada di salah satu tempat wisata di Eropa. Huehuehuee… narsis gw lagi kambuh nih. Rencana lain adalah mencari sesuap nasi di pasar, bukan sesuap roti. Gw benar-benar tidak bisa hidup tanpa nasi. Gw adalah nasi-addict. Pengalaman buruk pagi ini memperparah kelaparan gw. Gw tidak menyangka sama sekali roti pertama di Eropa yang gw cicipi adalah roti rasa ketumbar yang disajikan dengan keju serbuk ketumbar. Hua hua hua… . Kali ini gw mengancam Geart; kalau sampai gw tidak bertemu dengan nasi hari ini, gw tidak sudi tinggal di Belanda. Huh!
Jalan-jalan ke pasar
Pasar atau pusat kota di Leeuwarden terletak tidak jauh dari rumah camer. Gw dan Geart hanya menggunakan sepeda ke pasar. Sebenarnya, mau jauh atau mau dekat, tetap saja pakai sepeda. Soalnya si uda hanya punya ini sebagai kendaraan satu-satunya. Pasar di sini, buka jam 10.00 dan tutup pada jam 05.00 sore. Kebetulan gw ke pusat kota di hari Jumat, Geart menerangkan kalau hari ini ada pasar sayur. Pasar sayur adalah pasar kaget yang mirip ‘sogo jongkok’ di Jakarta atau sejenis pasar dadakan. Pasar ini adanya hanya sekali seminggu. Barang dagangan yang dijual bermacam-macam, sama seperti pasar biasa, seperti pakaian, makanan, sayuran dan buah-buahan. Tapi disebutnya pasar sayur, karena alasan utama adanya pasar kaget ini adalah menjual sayur mayur. Makanya kalau nggak belanja di sini, nanti beli sayur mayur di supermarket bisa dua sampai tiga kali lipat. Menurut gw inilah jenis pasar tradisionalnya.
Misi selanjutnya perjalanan gw adalah membeli kartu perdana. Selain membeli dua buah kartu telepon, satu untuk paket internet dan satu untuk paket sms, gw juga melirik-lirik harga HP yang terpajang di toko handphone tersebut. Wah… harganya dua kali lipat harga pasaran di Indonesia. Sumpah! Gw kan juga dagang handphone, jadi gw tahu persis harga per item barang yang dipajang di toko ini. Naluri bisnis gw mulai menjalar. Dua buah HP yang gw bawa dari Indonesia, akan gw jual disini! Tapi setelah membahas ide cemerlang gw tersebut, Geart menjelaskan kalau itu hanya trik jualan. Soalnya mereka menjual satu paket handphone plus kartu perdana dengan pemakaian satu tahun kontrak, harganya sama dengan harga pasar di Indonesia. Ya sudah… nggak jadi kaya.
Makan nasi eksklusif
Dipesan:
Ini perlu gw jelaskan sedetil-detil mungkin karena gw merasa semakin cinta dengan Indonesia. Gw singgah di La Place; sebuah mall mirip Matahari Dept. Store di Indonesia yang menjual baju-baju branded dan berbagai macam barang lainnya, dan di lantai paling atas ada foodcourt. Kebetulan di foodcourt ini gw melihat nasi, Nyam nyam… orang Padang bilang bikin selera ‘berpatai-patai’ (bukan buah petai, tapi maksudnya bikin ngiler). Gw segera memesan nasi dan oseng-oseng daging. Sebenarnya ada nama nya, tapi gw nggak ‘ngeh. Yang gw ingat adalah, memilih sendiri campurannya seperti sayur kol, sawi, nanas, ketimun, bawang merah, bawang putih, dll. Terus dioseng-oseng si koki di atas kompor di depan kostumer. Wow… canggih, secanggih negaranya yang modern. Cara masak yang simple sesimpel orang-orangnya. Gw ambil makanan gw dan gw membawa baki sendiri dari tempat baki. Saatnya makan… eh, bayar dulu…
Dibayar:
Halah mak Jang, harganya ampun. Satu mangkok nasi dengan rupiah sembilan puluh ribu, satu piring oseng-oseng daging harganya seratus lima puluh ribu, dan satu gelas jus stroberi seharga tigapuluh ribu. Jus nya sih gak masalah karena kelihatannya emang asli tanpa campuran air bah seperti di kafe jus, tapi nasi dan dagingnya? Gimana gw nggak cinta Indonesia, kalau di Depok bisa beli nasi sepiring dua ribu. Kalau duduk di Matahari atau restoran keren pun paling banter lima ribu. Hoah… gak ikhlas.
Dimakan:
Mari lupakan harga makanan ini, biarpun gw nggak ikhlas dan mengumpat, toh bukan gw yang bayar. Kalau saatnya makan barulah mulut gw beraksi. Nasi putih semangkok yang gw makan pakai garpu, rasanya menjadi hampa karena ternyata gw tidak suka dengan oseng-oseng dagingnya. Kalau lo nggak percaya, silahkan praktekkan sendiri menunya di rumah, habis itu lo makan deh, jangan lupa dikasih garam.
Dilempar:
Gw sudah pasti tidak menyelesaikan makan gw, hanya sedikit nasi yang tertelan, dan gw masih kelaparan di Belanda. Ingin rasanya menelpon bundo untuk bilang betapa gw rindu masakannya; gulai rendang, gulai jengkol dan petainya, juga goreng ikan balado yang cabenya nggak pedas sama sekali. Kedua makanan di atas baki ini akhirnya gw setor ke dapur. Berhubung ini peraturan Belanda, untuk meletakkan baki beserta peralatan makan ke lorong baki, maka dengan berat hati gw membuang duaratus ribu setelah dipotong limapuluh ribu dari yang gw makan tadi. (Intermezo: Itulah orang Padang, perhitungan banget kan? Makanya jangan mau sama orang Padang).
Fyi, kalau makan di foodcourt dan mau pakai tray/ baki, baki nya diambil sendiri. Setelah makan, baki nya di taruh lagi sendiri ke tempat cucian. ada lorong baki, yang tinggal taruh, terus baki nya jalan ke bagian cuci piring (seperti bagasi di airport itu, apalah namanya nggak tau) Sehabis makan meja harus bersih, sampah juga dikumpulin sendiri.