Part 4: Petualangan Dimulai

Selamat pagi Belanda! Senangnya bangun siang

Gw melirik jam dinding di kamar dan ternyata masih terlalu pagi untuk bangun; 06.00. Biasanya gw malas bangun jam segini. Tapi sehubungan gw orang Indonesia yang rajin bangun siang, maka dengan melirik jam tangan gw yang menunjukkan pukul 11.00 siang, hati gw menjadi lega. Hari ini adalah hari pemulihan tenaga, hari bermalas-malasan dan… tiba-tiba gw tersadar ‘Ini Belanda cuy! Rugi kalau hanya molor di rumah’. Hasrat mandi-pagi gw langsung muncul, gw segera bangun dari tempat tidur dan berusaha mencari sesuap roti untuk makan siang. Sesuai dengan kebanggan makanan orang Belanda. Yes, roti!

Menyusun rencana

Rencana hari ini adalah mencari kartu telepon supaya gw bisa dihubungi oleh orang sekampung dan supaya gw juga bisa menggunakan internet di HP untuk fesbukan. Sebenarnya yang lebih utama adalah eksistensi di fesbuk. Tahu sendiri kan ‘gimana rasanya dilihatin foto nya sama orang sekampung kalau gw sedang berada di salah satu tempat wisata di Eropa. Huehuehuee… narsis gw lagi kambuh nih. Rencana lain adalah mencari sesuap nasi di pasar, bukan sesuap roti. Gw benar-benar tidak bisa hidup tanpa nasi. Gw adalah nasi-addict. Pengalaman buruk pagi ini memperparah kelaparan gw. Gw tidak menyangka sama sekali roti pertama di Eropa yang gw cicipi adalah roti rasa ketumbar yang disajikan dengan keju serbuk ketumbar. Hua hua hua…  . Kali ini gw mengancam Geart; kalau sampai gw tidak bertemu dengan nasi hari ini, gw tidak sudi tinggal di Belanda. Huh!

Jalan-jalan ke pasar

Pasar atau pusat kota di Leeuwarden terletak tidak jauh dari rumah camer. Gw dan Geart hanya menggunakan sepeda ke pasar. Sebenarnya, mau jauh atau mau dekat, tetap saja pakai sepeda. Soalnya si uda hanya punya ini sebagai kendaraan satu-satunya. Pasar di sini, buka jam 10.00 dan tutup pada jam 05.00 sore. Kebetulan gw ke pusat kota di hari Jumat, Geart menerangkan kalau hari ini ada pasar sayur. Pasar sayur adalah pasar kaget yang mirip ‘sogo jongkok’ di Jakarta atau sejenis pasar dadakan. Pasar ini adanya hanya sekali seminggu. Barang dagangan yang dijual bermacam-macam, sama seperti pasar biasa, seperti pakaian, makanan, sayuran dan buah-buahan. Tapi disebutnya pasar sayur, karena alasan utama adanya pasar kaget ini adalah menjual sayur mayur. Makanya kalau nggak belanja di sini, nanti beli sayur mayur di supermarket bisa dua sampai tiga kali lipat. Menurut gw inilah jenis pasar tradisionalnya.

Misi selanjutnya perjalanan gw adalah membeli kartu perdana. Selain membeli dua buah kartu telepon, satu untuk paket internet dan satu untuk paket sms, gw juga melirik-lirik harga HP yang terpajang di toko handphone tersebut. Wah… harganya dua kali lipat harga pasaran di Indonesia. Sumpah! Gw kan juga dagang handphone, jadi gw tahu persis harga per item barang yang dipajang di toko ini. Naluri bisnis gw mulai menjalar. Dua buah HP yang gw bawa dari Indonesia, akan gw jual disini! Tapi setelah membahas ide cemerlang gw tersebut, Geart menjelaskan kalau itu hanya trik jualan. Soalnya mereka menjual satu paket handphone plus kartu perdana dengan pemakaian satu tahun kontrak, harganya sama dengan harga pasar di Indonesia. Ya sudah… nggak jadi kaya.

Makan nasi eksklusif

Dipesan:
Ini perlu gw jelaskan sedetil-detil mungkin karena gw merasa semakin cinta dengan Indonesia. Gw singgah di La Place; sebuah mall mirip Matahari Dept. Store di Indonesia yang menjual baju-baju branded dan berbagai macam barang lainnya, dan di lantai paling atas ada foodcourt. Kebetulan di foodcourt ini gw melihat nasi, Nyam nyam… orang Padang bilang bikin selera ‘berpatai-patai’ (bukan buah petai, tapi maksudnya bikin ngiler). Gw segera memesan nasi dan oseng-oseng daging. Sebenarnya ada nama nya, tapi gw nggak ‘ngeh. Yang gw ingat adalah, memilih sendiri campurannya seperti sayur kol, sawi, nanas, ketimun, bawang merah, bawang putih, dll. Terus dioseng-oseng si koki di atas kompor di depan kostumer. Wow… canggih, secanggih negaranya yang modern. Cara masak yang simple sesimpel orang-orangnya. Gw ambil makanan gw dan gw membawa baki sendiri dari tempat baki. Saatnya makan… eh, bayar dulu…

Dibayar:
Halah mak Jang, harganya ampun. Satu mangkok nasi dengan rupiah sembilan puluh ribu, satu piring oseng-oseng daging harganya seratus lima puluh ribu, dan satu gelas jus stroberi seharga tigapuluh ribu. Jus nya sih gak masalah karena kelihatannya emang asli tanpa campuran air bah seperti di kafe jus, tapi nasi dan dagingnya? Gimana gw nggak cinta Indonesia, kalau di Depok bisa beli nasi sepiring dua ribu. Kalau duduk di Matahari atau restoran keren pun paling banter lima ribu. Hoah… gak ikhlas.

Dimakan:
Mari lupakan harga makanan ini, biarpun gw nggak ikhlas dan mengumpat, toh bukan gw yang bayar. Kalau saatnya makan barulah mulut gw beraksi. Nasi putih semangkok yang gw makan pakai garpu, rasanya menjadi hampa karena ternyata gw tidak suka dengan oseng-oseng dagingnya. Kalau lo nggak percaya, silahkan praktekkan sendiri menunya di rumah, habis itu lo makan deh, jangan lupa dikasih garam.

Dilempar:
Gw sudah pasti tidak menyelesaikan makan gw, hanya sedikit nasi yang tertelan, dan gw masih kelaparan di Belanda. Ingin rasanya menelpon bundo untuk bilang betapa gw rindu masakannya; gulai rendang, gulai jengkol dan petainya, juga goreng ikan balado yang cabenya nggak pedas sama sekali. Kedua makanan di atas baki ini akhirnya gw setor ke dapur. Berhubung ini peraturan Belanda, untuk meletakkan baki beserta peralatan makan ke lorong baki, maka dengan berat hati gw membuang duaratus ribu setelah dipotong limapuluh ribu dari yang gw makan tadi. (Intermezo: Itulah orang Padang, perhitungan banget kan? Makanya jangan mau sama orang Padang).

Fyi, kalau makan di foodcourt dan mau pakai tray/ baki, baki nya diambil sendiri. Setelah makan, baki nya di taruh lagi sendiri ke tempat cucian. ada lorong baki, yang tinggal taruh, terus baki nya jalan ke bagian cuci piring (seperti bagasi di airport itu, apalah namanya nggak tau) Sehabis makan meja harus bersih, sampah juga dikumpulin sendiri.

 

 

Part 2: Perjalanan Menuju Belanda

Tiket pesawat pilihan gw adalah Emirates, dengan jurusan Jakarta – Dubai, Dubai – Amsterdam. Keberangkatan yang gw pilih dari empat pilihan adalah berangkat selambat mungkin dari Jakarta dan sampai siangnya di Belanda. Demikian sebaliknya untuk tiket pulang ke Indonesia, gw pilih keberangkatan siang dari Schipol dan sampai di Soekarno Hatta juga siang hari.

Karena gw tinggal di Padang, dengan demikian tiket keberangkatan yang gw beli harus dengan timing yang tepat dari Padang menuju Jakarta. Gw memperhitungkan lama tunggu seandainya terjadi delay dari Padang. Ada kemungkinan gw ketinggalan pesawat dari Jakarta ke Belanda. So, dengan berat hati, gw berangkat sesegera mungkin dari Padang, dan rela menunggu enam jam ketimbang menanggung resiko kemungkinan pesawat dari Padang delay berjam-jam.

Padang to Jakarta (Lion air)

Alhamdulillah perjalanan gw tidak mengalami gangguan. Perjalanan lancar dan pesawat on time. Bagasi gw pun aman. Gw sampai di Jakarta jam 03.00 sore. Kemudian gw harus ke terminal keberangkatan internasional yang jaraknya cukup jauh dari terminal kedatangan pesawat Lion. Untuk menuju ke sana, gw naik bus gratis bandara. Berhubung Lion air hanya mengijinkan bagasi 20 kg, jadi gw nggak maruk-maruk amat bawa bagasi gede. Apalagi kalau berangkat sendirian, biar nggak keteteran, gw hanya bawa satu suitcase, sisanya handbag.

Proses keberangkatan di Bandara Internasional

Jadwal keberangkatan gw untuk jurusan Jakarta Dubai adalah jam 00.30. Bayangkan betapa lamanya gw harus bermenung seorang diri mulai dari jam 4 sore. Sambil duduk di Lobby bandara, gw sempat bercakap-cakap dengan orang-orang sekitar yang duduk di dekat gw untuk nanya berapa lama proses imigrasi, gw khawatir agak ribet, karena gw kebanyakan baca info dari google, akhirnya jadi khawatir berat. Tiga jam sebelum jadwal berangkat, check-in counter sudah di buka. Waktu gw masuk dan antri, ada sedikit penyesalan; ngapain gw lama-lama bengong di luar, tahu-tahunya saat gw on time di depan check-in counter sudah ada puluhan orang yang antri di depan gw. Bodohnya gw… ternyata orang-orang ini sudah antri sebelum check-in counter dibuka. Jadilah terpaksa berdiri hingga 1 jam.

Di konter ini, menurut peraturan Indonesia, gw bayar airport tax 150.000,-. Prosesnya nggak lama, gw hanya masukin bagasi, kasih liat paspor dan diberikan Kartu Kedatangan dan Keberangkatan yang harus diisi sebelum ke Imigrasi.

lanjutt..

Gw menuju konter imigrasi. Tadinya gw pikir imigrasi adalah sebuah ruangan tempat interview sebelum kita lolos masuk check-in. Ternyata hanya seorang petugas imigrasi yang duduk di meja nya masing-masing, dan melayani satu baris antrian masing-masing. Ada antrian khusus untuk Paspor Indonesia dan antrian untuk Paspor Asing. Kartu kedatangan dan keberangkatan yang sudah diisi tadi diserahkan ke Imigrasi, kemudian di stempel dan bagian ‘kedatangan’ nya diserahkan kembali ke gw. Kartu kedatangan ini harus disimpan dan diserahkan ke imigrasi lagi sewaktu gw balik ke Indonesia. Ternyata semua dokumen yang gw bawa (invitation letter, insurance, guarantor declaration, and so on) tidak diminta sama sekali di sini. Gw dengan mudah lewat begitu saja. Wah… gw pikir, tahu begitu nggak perlu deh gw bawa-bawa double dokumen tambahan.

lanjutt…

Setelah lolos di imigrasi, gw tinggal masuk ke boarding gate dan siap menunggu di sana. Karena waktu masih lama, gw sempatkan untuk lihat-lihat souvenir. Busyetttt… mahal banget. Hanya lihat tiga toko dah bikin kepala gw puyeng. Mau beli sendal batik aja hampir seratus ribu, mending lanjutt…

Sebelum masuk boarding gate, ada pemeriksaan cabin baggage. Caranya sederhana, hanya melewati scan barang biasa. Namun ternyata peraturannya lebih ketat. Kita tidak diijinkan bawa barang sejenis cairan diatas 100 ml. Gw dari tadi nenteng Pulpy yang masih utuh belum diminum karena lupa, akhirnya harus gw minum di tempat. Pulpy itu dari adik ipar gw yang ngasih snack dan minuman buat di perjalanan. sayangnya gw lupa meminumnya. Sambil minum di depan petugas, gw melihat banyak tumpukan botol cairan lain. Ada sampo, handbody lotion dan shower gel. Hehehe, kasian yaa… udah capek-capek beli dan bawa berat-berat, tahu-tahunya nggak boleh dibawa ke pesawat.

Jakarta to Dubai (Emirates)

Gw deg-degan lho. Gw baru sekali-kalinya ke luar negri dan langsung naik pesawat Emirates yang terkenal. Deg-degan bukan karena takut berada diantara orang-orangnya atau komunikasi bahasanya. Gw khawatir alergi dingin gw kambuh, apalagi mengingat perjalanan yang cukup lama sekitar tujuh jam. Untunglah di Emirates pelayanannya memuaskan. Ketika masuk pesawat, perasaan sudah lega, selimut sudah tersedia di kursi, dan TV monitor sudah nyala di depan mata. Selang 1 jam sudah disajikan sarapan pagi, setelah beberapa jam makan siang datang. Setiap jam ditawarin minum (teh, kopi, aneka jus, bir, cola, bahkan wine juga disajikan gratis). Semua menu Emirates memuaskan dan halal. Berbeda dengan menu di internet. Sewaktu beli tiket pesawat disuruh pilih menu, tahu-tahu di pesawat nggak bisa milih. Pilihannya hanya dua, ikan atau ayam, ayam atau daging, daging atau ikan, dll. Pokoknya dijamin Halal.

Dubai International Airport

Di Dubai, gw transit selama tiga jam. Rasanya waktu yang tersedia pas aja. Pas buat turun pesawat, pas buat lirik-lirik toko souvenir, pas buat ke toilet, pas untuk istirahat sejenak dan pas buat check in. Bandara Dubai emang gede banget, berjalan kaki cukup jauh. Proses Imigrasi juga sebentar. Sehubungan gw hanya transit, jadi nggak butuh visa on arrival. Gw langsung menuju boarding gate dengan boarding pass yang sudah dikasih sejak dari Jakarta. Melewati boarding gate juga gampang, hanya memperlihatkan paspor saja. Sebelumnya, handbag juga sudah di scan di gerbang masuk terminal untuk pesawat Emirates.

Dubai to Amsterdam (Emirates)

Kali ini gw nggak deg-degan lagi, karena sudah merasakan betapa nikmatnya terbang dengan Emirates. Di penerbangan pertama pada jam malam, gw banyak menghabiskan waktu untuk tidur dan istirahat. Karena gw berangkat malam dan itu juga jam tidur waktu Indonesia. Walaupun diberi makan, gw tetap mengantuk setelahnya. Di penerbangan kedua, jadwal gw adalah pagi menuju siang hari. Sudah pasti tidak mengantuk dan saatnya memanfaatkan fasilitas yang ada. Gw nonton film-film terbaru gratis di monitor, mulai dari Bolywood, Hollywood, Arabian, Chinese, Comedy, TV series, main game, dll. Puas-puas in deh…

Amsterdam Schipol International Airport

Alhamdulillah sampai dengan selamat di Belanda. Gw tidak kurang satu apapun, dan sampai dalam keadaan sehat wal afiat. Gw sempat pusing dan mual karena kelamaan nunggu di Bandara Jakarta, namun terselamatkan oleh asupan makanan di pesawat. Sesampainya di Schipol, gw mengambil bagasi yang alhamdulliah lengkap dan tidak hilang. Namun sebelum masuk ke pengambilan bagasi, gw harus melewati imigrasi Belanda yang juga hanya sebuah meja tinggi dengan dua orang petugas. Di sinilah gw agak deg-degan, ditanyain duit gw ada berapa. Wah… mau menjawab bingung, dibilang sedikit ntar dipersulit, dibilang banyak ntar dipermasalahkan. Tapi ternyata nggak tuh, hanya ditanyain berapa gw sediain duit buat holiday, berapa limit credit card, dsb. Mereka juga minta bukti dokumen. Akhirnya dokumen-dokumen yang gw bawa ada gunanya juga.

lanjutttt…

Belum selesai tuh, sebelum ke luar dari bandara menuju lobby, ada pemeriksaan lagi. Tas gw dibongkar sama petugas untuk memeriksa apa gw bawa barang mahal. Karena si petugas masih muda dan guanteng, akhirnya gw ajakin aja bercanda, gw tawarin oleh-oleh dari Padang. Si Doi bilang gini; “terima kasih, saya tidak diijinkan menerima dan mengambil apapun dari penumpang”. cakeppppp… tambah ganteng!
lanjuttt…

Make Over

Inilah pesan nyokap gw yang paling sangat penting. ‘Jangan lupa make over sebelum ketemu camer’. Sebenarnya gw bukan tipikal orang yang menilai seseorang dari penampilan, Jadinya gw sendiri pun cuek dan nyantai dengan dandanan gw. Berhubung nyokap gw yakin pasti bahwa anaknya jelek, maka dari itu gw meng-amin-i dan langsung menuju toilet di bandara sebelum ada yang sempat mengenal gw telah mendarat di Schipol. Step pertama adalah sikat gigi yang bersih. Step kedua adalah ganti kostum. Sebelumnya kostum Harimau, segera diganti dengan kostum Badut Ancol. Step ketiga yakni semprotan parfum. Walaupun gw tidak mandi dua hari, setidaknya parfum ini bisa menipu hidung camer gw. Step keempat adalah dempul wajah, lukis alis dan sapuan mata. Yang terakhir adalah memasang kacamata minus. Selama ini gw tidak memakai kacamata, karena minus gw yang 1,5 kanan kiri rasanya masih ok-ok aja, dan gw enjoy dengan kerabunan gw. Gw pun tidak keberatan dengan ketidaksempurnaan ini. Ini anugrah. Sehubungan gw hendak bertemu camer, terpaksa kacamata baru tersebut gw pasang, supaya gw bisa membalas senyuman camer dari kejauhan. Yukk … siap tempur.

Bertemu si buah hati

Baru saja gw keluar dari gerbang, si doi langsung nongol dan sudah tersenyum ke arah gw. Ya ampun… resah dan gelisah selama dua hari langsung lenyap. Akhirnya ketemu juga dengan si uda berkulit putih nan berambut pirang dan bermata biru ini. Gw dan Geart duduk sebentar di bandara. Membahas perjalanan gw yang lancar dan membahas cara pertemuan kita yang biasa-biasa banget. Tidak pakai cipika-cipiki atau berpelukan. Kenapa eh kenapa? Karena kita tidak pernah merasa berjauhan dan selalu berkomunikasi setiap waktu, bukan sekedar setiap hari lho. Gw pun memberi Geart oleh-oleh dari pesawat Emirates. Aduh baik hati ya gw, romantis dan penuh kasih sayang. Banyak cemilan yang nggak sempat gw makan di pesawat karena rasanya yang aneh dan bukan tipikal makanan gw. Geart orang yang tepat untuk menghabiskan roti dan keju-keju mini tersebut. Oya, ditambah bonus satu pack air mineral mini juga. Hanya inilah yang bisa gw beri untuk uda tersayang. Gw sama sekali tidak membawa oleh-oleh untuk si Uda seujung kuku kucing pun. Si Uda bilang “Nggak usah bawa apa-apa, kamu adalah hadiah terbaik untuk ku”. Cieeee…

Perjalanan menuju Leeuwarden

Setelah duduk sebentar, Geart kemudian membeli tiket kereta yang stasiunnya terletak di bawah bandara Schipol. Sungguh efisien dan nggak ribet, mengingat gw akan keteteran dengan membawa tas besar dan berat. ‘Owh… bukan saya, Geart yang bawa’. Setelah membeli tiket di lingkungan bandara melalui sebuah mesin mirip mesin ATM, kami naik kereta menuju Leewarden dengan perjalanan kurang dari tiga jam. Sebuah perjalanan yang tidak melelahkan apabila berada di samping sang pacar. Sesampainya di stasiun Leeuwarden, camer sudah menjemput.

Dan, berpelukan..

.