Part 11: How to deal with European Camer

Hayo tebak gimana caranya membina hubungan dengan camer Eropa? Jangankan pendekatan sama camer impor, pedekate sama camer lokal aja deg-degan, canggung, serba salah dan takut nggak direstui pada ujung kisah. Awalnya gw kira juga begitu, tapi yang paling penting adalah be your self. Jadilah dirimu sendiri dan dalami karakter orang dihadapanmu, hargai orang lain selayaknya kamu ingin dihargai. Apapun hasilnya, suka atau tidak suka adalah akibat dari penilaian atas personality gw, jadi tidak perlu dipaksakan. Enjoy aja!

Camer Ibu:

Camer gw yang perempuan ini adalah seorang psikolog, yang pekerjaan utamanya berhubungan dengan permasalahan di bidang pendidikan, baik permasalahan di sekolah, permasalahan mental, dan hal-hal lain terutama yang berkaitan dengan masalah anak-anak. Dan menurut cerita beliau, beliau pernah juga menerima klien atau pasien seorang wanita yang sudah tua yang merasa dihantui oleh kematian karena teman-teman seusianya sudah pada meninggal semua. Camer gw ini punya kantor sendiri dengan beberapa karyawan. Kantor-nya berada di sebuah gedung di areal perkantoran dekat pusat kota. Desain kantornya yang sudah gw kunjungi, sama dengan desain kantor lain yang berbahan kayu. Jadi kantor dengan beberapa ruangan dan tiga lantai ini berlantai papan. Sedangkan dinding-dinding yang berbatasan dengan kantor sebelah terbuat dari batu bata.

Camer Bapak:

Camer yang laki adalah seorang pemuka agama di gereja, yang bertugas sebagai mediator atas perwakilan agamanya untuk berdiskusi dengan agama lain dalam memecahkan masalah dan konflik agama. Itulah sebabnya si camer memiliki semua kitab suci agama untuk ia pelajari. Di samping itu juga bertugas menikahkan dan memberi pelayanan di gereja. Bisa dibilang seorang pendeta juga, walaupun jarang memberikan khotbah. Namun Alhamdulillah, beliau telah mengijinkan anaknya sejak 1,5 tahun lalu mengikuti Islam bersama gw. Bahkan gw sempat menanyakan kepada camer bagaimana menurutnya ketika Geart memutuskan menjadi seorang muslim. Camer bilang; “itu terserah dia, itu hak dia dan dia yang akan menjalani. Saya hanya berpesan kepadanya untuk melakukan yang terbaik dengan agamanya”.

Hari pertama gw sampai di rumah mereka, di sela sela perbincangan, pertanyaan yang dilontarkan camer ibu adalah “berapa jumlah rakyat Indonesia, berapa jumlah rakyat di Padang, dan berapa jumlah yang ada di Jakarta dengan kepadatan nya?”
ada yang bisa jawab?

Hari-hari berikut, camer mulai meminta waktu berganti gantian untuk bisa lebih mengenal gw. Camer Ibu mengajak jalan-jalan keliling kota, menunjukkan kantor dan isi nya. Sedangkan camer laki mengajak gw berdiskusi tiga jam di dapur setelah makan malam. hohohhhoo… coba tebak apa topik nya. “tentang dunia, masa kini, masa sekarang dan masa lalu dan kehidupan” buat gw itu topik yang gampang, sedangkan yang sulit adalah pembicaraan mengenai orang tua, saudara, restu keluarga dll. Susah deh untuk diungkapkan dengan kata-kata.

Inilah yang beda dari orang kita, kalau di Padang terutama, yang berusaha pedekate adalah calon mantu, supaya camer nya memberi restu dan nggak diputusin sama pacarnya, maka calon menantu berusaha pedekate semaksimal mungkin dan mengikuti apa maunya si ibu mertua. Sedangkan di Belanda dan negara Eropa atau Negara barat lainnya; terdapat azas persamaan, dimana posisi gw dan posisi beliau sama-sama ingin kenal lebih dekat, sama-sama ingin saling dihargai, dan ingin memiliki kesamaan visi dan misi. Contohnya, gw tidak harus memanggil tuan menir atau nyonya menir, atau papa atau mama. Kedua camer ini dipanggil sesuai nama lahir atau nama panggilan mereka sehari-hari. Ini suatu keuntungan buat gw, karena gw merasa lebih nyaman berdiskusi dan menganggap mereka sebagai teman.

Contoh kedua, waktu gw jalan-jalan sama camer ibu ke pasar atau kota untuk berbelanja sepatu, si ibu merunduk untuk memasangkan sepatu ke kaki gw, sepertinya itu bukan suatu hal yang merendahkan martabat atau memalukan. Menurut gw inilah kesamaan hak, kewajiban, visi dan misi, serta kesenangan. yaa, saya senangnya begitu. Cucok!

Contoh ketiga, sering kali camer laki yang menawarkan gw teh dan menyajikan gw minuman sembari ngobrol, ini bukan karena beliau sang tuan rumahnya, tapi lebih kepada kesenangan. Menurut aturannya, apabila kita tinggal di rumah seseorang yang mana orang itu sudah welcome dengan kita, kita harus beradaptasi seolah rumah sendiri dan harus menyiapkan apapun sendiri. Termasuk memasak sendiri.

So how i can deal with them?
Let my brain talk.